Resiliece City (Kota Tangguh)
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menuliskan
bahwa kota dibangun sebagai puncak peradaban manusia. Seperti itulah idealnya
sebuah kota dibangun yaitu sebagai etalase untuk memajang karya yang menandai
kemajuan peradaban manusia, baik dari segi arsitektural maupun dari segi sosial
lingkungannya.
Namun pada kenyataannya, kehidupan kota
tidaklah seindah itu. Ancaman-ancaman terhadap peradaban kota selalu tidak bisa
dipisahkan dari perjalanannya, khususnya bencana alam. Indonesia adalah salah
satu contoh terbaiknya. Betapa berbagai bencana seperti tak henti-hentinya
mendera negeri ini. Misalnya kebakaran hutan dan kabut asap, banjir, dan gunung
meletus. Dampak dari bencanapun datang dari segala sisi, baik dari sisi
kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.
Kota sebagai jantung kehidupan sebuah
negara pun turut tidak luput dalam pusaran bencana ini. Menyadari hal itu, pada
satu dekade terakhir ini timbul kesadaran dari para pemangku kebijakan, dalam
hal ini pemerintah negara-negara yang tergabung dalam PBB, untuk mencari suatu
paradigma dan perspektif berpikir baru mengenai kebencanaan.
Konsep itu pun kemudian disebut dengan resilience
(ketangguhan). Konsep resilience bertumpu pada
membangun sistem dan kapasitas kota untuk beradaptasi terhadap datangnya bencana.
Menurut Wildavsky, resilience adalah konsep agar suatu sistem lebih
tahan terhadap bencana, bukan hanya dengan kebal terhadap perubahan, tetapi
juga bagaimana sistem bisa bangkit kembali, memitigasi, dan pulih dari bencana.
Wildavsky juga mengemukan bahwa karakteristik umum dari sebuah sistem yang resilience
adalah redundansi (pengulangan), keragaman, efisiensi, otonomi,
kekuatan, saling ketergantungan, adaptasi, dan kolaborasi (Djalante dan Frank,
2010).
Untuk membangun konsep kota tangguh
bencana ini memerlukan syarat yaitu:
Pertama, memilih pemimpin yang kapabel. Konsep resilience merupakan konsep yang telah menjadi trend pada kota-kota di dunia saat ini, misalnya King County, New York City, Tokyo, Singapura, Venesia, London dll. Untuk itu, pemimpin yang kapabel adalah pemimpin yang mampu membuat kebijakan atau regulasi yang berwawasan tangguh bencana. Jangan sampai penanganan bencana masih dengan cara selama ini yaitu bersifat spontanitas. Kita jangan sampai lagi terbuai pada janji-janji pemimpin yang hanya berfokus pada pertumbuhan dan pembangunan saja. Oleh karena itu melalui momen Pemilihan Umum 2014 ini merupakan waktu yang paling tepat untuk memilih pemimpin yang berwawasan kebencanaan. Pemimpin masa depan adalah pemimpin yang harus mempunyai visi tangguh bencana.
Kedua, memperkuat kapasitas masyarakat. Menyadarkan masyarakat untuk siaga terhadap bencana mungkin tidak mudah. Contohnya seperti beberapa kasus erupsi gunung. Kekurangpahaman masyarakat terhadap pertanda serta efek bencana serta mungkin juga ditambah dengan paradigma Timur yang masih berpola mistik sehingga dalam beberapa kasus erupsi harus memakan korban jiwa. Begitupula dengan beberapa kasus banjir di beberapa kota. Bisa dilihat bahwa masih kurangnya organisasi dan manajemen dalam menghadapi bencana, sehingga banyak masalah dalam hal mencari tempat untuk menyelamatkan diri serta menghuni tempat penampungan. Memperkuat kapasitas masyarakat untuk tangguh bencana adalah syarat mutlak masyarakat kota Indonesia masa depan.
Pertama, memilih pemimpin yang kapabel. Konsep resilience merupakan konsep yang telah menjadi trend pada kota-kota di dunia saat ini, misalnya King County, New York City, Tokyo, Singapura, Venesia, London dll. Untuk itu, pemimpin yang kapabel adalah pemimpin yang mampu membuat kebijakan atau regulasi yang berwawasan tangguh bencana. Jangan sampai penanganan bencana masih dengan cara selama ini yaitu bersifat spontanitas. Kita jangan sampai lagi terbuai pada janji-janji pemimpin yang hanya berfokus pada pertumbuhan dan pembangunan saja. Oleh karena itu melalui momen Pemilihan Umum 2014 ini merupakan waktu yang paling tepat untuk memilih pemimpin yang berwawasan kebencanaan. Pemimpin masa depan adalah pemimpin yang harus mempunyai visi tangguh bencana.
Kedua, memperkuat kapasitas masyarakat. Menyadarkan masyarakat untuk siaga terhadap bencana mungkin tidak mudah. Contohnya seperti beberapa kasus erupsi gunung. Kekurangpahaman masyarakat terhadap pertanda serta efek bencana serta mungkin juga ditambah dengan paradigma Timur yang masih berpola mistik sehingga dalam beberapa kasus erupsi harus memakan korban jiwa. Begitupula dengan beberapa kasus banjir di beberapa kota. Bisa dilihat bahwa masih kurangnya organisasi dan manajemen dalam menghadapi bencana, sehingga banyak masalah dalam hal mencari tempat untuk menyelamatkan diri serta menghuni tempat penampungan. Memperkuat kapasitas masyarakat untuk tangguh bencana adalah syarat mutlak masyarakat kota Indonesia masa depan.
Membangun kota yang tangguh menghadapi
bencana pada hakikatnya mengimplementasikan konsep pengurangan risiko bencana,
baik risiko kepada manusia maupun lingkungan. Kegiatan tersebut tidak
semata-mata menjadi tugas pemerintah, karena persoalan bencana bukan saja
persoalan lokal atau nasional semata, melainkan sudah menjadi persoalan
global.
“Kemampuan mengelola sumber daya sangat
penting bagi kota untuk memulihkan diri dari bencana, misalnya. Berketahanan
bukan berarti kota mengeliminasi segala ancaman bahaya, tapi berarti siap untuk
menghadapi ancaman tersebut, jika bahaya seperti bencana benar terjadi,”
papar Nyoman Prayoga, ACCCRN City Government Partnership Coordinator. Berikut
ini beberapa kota di dunia yang membangun diri untuk menjadi kota yang tangguh.
Sumber : www.ifhp.org
Komentar
Posting Komentar